Selasa, 18 Oktober 2011

MEMBACA KELUARGA

Kita seringkali mendengar ucapan keluarga besar SMA ini, keluarga besar SMP itu. Kata keluarga besar akan bersanding dengan nama lembaga pendidikan semisal SMA, SMP dan memang sekolah tersebut besar dengan memiliki banyak murid. Haruskah sebuah lembaga pendidikan bangga dengan memiliki banyak murid. Kita kesampingkan masalah bangga dan tidak bangga. Mari beralih pada berkualitas  dan tidak berkualitas. Apakah sebuah sekolah menjalankan pendidikan yang berkualitas ketika memiliki banyak murid? Apakah semakin banyak murid yang dimiliki sebuah sekolahan menandakan sekolah tersebut berkualitas? Persoalan kualitas pendidikan tentunya adalah masalah yang sangat penting untuk dibicarakan.

            Sesungguhnya lembaga-lembaga pendidikan mempunyai semangat yang baik untuk menjadi sebuah keluarga. Dalam pemikiran paling sederhana tentang pendidikan, pendidikan yang paling mewarnai kehidupan seseorang adalah pendidikan yang didapat dari orang tuanya, dengan kata lain pendidikan dari keluarga. Seorang anak dokter punya peluang besar untuk menjadi dokter. Sebagai mana peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Semangat pendidikan seperti itulah yang ingin diterapkan sekolah. Dan hampir semua guru menyatakan akan menjadikan siswanya di didik seakan-akan anak sendiri. Semangat pendidikan seperti itulah yang sebetulnya mewarnai pendidikan di Indonesia, semangat kekeluargaan. Tentunya semangat luhur seperti itu tidak serta merta terwujud dengan mudahnya, banyak tantangan yang perlu dihadapi guna mewujudkannya.
            Sesungguhnya kualitas suatu lembaga pendidikan dapat ditentukan dari komponen-komponen penting dalam lembaga itu sendiri. Ini adalah logika secara umum, sepeda motor tidak bisa berjalan tanpa mesin atau tanpa roda. Yah! Bisa saja berjalan terseok-seok dengan roda yang kempes atau karena bahan bakar yang minim.
Permendiknas no 41 tahun 2007 menentukan jumlah siswa dalam satu kelas : 32 (SMP)dan dalam standar pelayanan minimal :  36 (SMP). Dalam sebuah penelitian, kesimpulan yang dikemukakan C.Kenneth Tanner dari Universitas Georgia (2000) bahwa lebih kecil jumlah siswa dengan ruang yang lebih sempit, itu lebih baik. Demikian pula hasil penelitian Glass dan Smith (1978), Robinson dan Wittebols (1986), dan Slavin (1989) yang melakukan analisis mengenai kegiatan belajar menyatakan bahwa interaksi antara guru dengan siswa pada kelas kecil lebih intensif. Jumlah siswa dalam satu kelas yang ideal adalah antara 17-20 siswa. Secara kultural, apa yang dikemukakan oleh para peneliti tersebut juga sesuai dengan yang terjadi pada pendidikan diIndonesia dengan semangat kekeluargaannya.
            Dalam buku Quantum teaching juga dikemukakan “mengajar adalah hak yang harus diraih, dan diberikan oleh siswa, bukan oleh departemen pendidikan”. Dalam pola interaksi seperti itu, dimana guru dituntut untuk tidak saja punya kompetensi keilmuan yang mumpuni di bidangnya tetapi juga menjalin hubungan personal yang baik dengan para muridnya sehingga mereka seakan menjadi bagian dari sebuah keluarga. Bisakah hal itu dilakukan oleh seorang guru yang berhadapan dengan 36 atau lebih siswa dalam satu kelas, sementara ia juga mengajar di beberapa kelas yang berbeda. Satu hal bahwa dalam kondisi seperti itu seorang guru akan kesulitan untuk mengingat nama-nama muridnya. Mengingat nama saja sudah sulit lalu bagaimana mau memberikan mereka kualitas pendidikan seakan mereka adalah anak sendiri?
            Kondisi yang ada sekarang, lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya tidak menerapkan kelas kecil karena berbagai kendala dan alasan yang menyertainya. Pada akhirnya, ketika menangani kelas besar, guru tidak akan sempat memberikan perhatian yang baik, secara merata dan adil kepada perkembangan tiap siswanya. Mengingat nama semua siswa saja sudah pasti tidak akan bisa.
            Satu hal yang sebenarnya menjadi pilar besar dalam keberhasilan pendidikan dan belum sepenuhnya dioptimalkan adalah membudayakan untuk membaca. Mengunjungi perpustakaan dan membaca buku adalah cara yang efektif dalam menuju kemandirian dalam belajar. Seruan untuk membaca buku harus selalu dilakukan berulang-ulang, sampai membaca buku menjadi sebuah budaya dan bukan malah sebaliknya, membaca buku menjadi hal yang aneh.
            Secara umum, Konsekuensi dari sebuah pendidikan yang ideal adalah pembangunan infrastruktur pendidikan yang memadai. Kurva dari Jumlah lembaga pendidikan secara berjenjang menurut tingkatannya tidak bisa dibiarkan seperti piramida. Yah, minimal bentuk kurvanya mirip gubug penceng. Dan selama sebuah pendidikan yang ideal belum bisa terwujud. Didiklah anak anda baik-baik. Jagalah mereka dengan seluruh pengetahuan yang anda punya dan yang ada dalam semua buku. Maka dari itu, sudahkah anda membaca buku?


Oleh :
Sugeng Arif Wibowo, S.Pd
(Guru SMK Sultan Agung 2 Tebuireng)

1 komentar:

  1. baguss pak artikellnyaa ...... !!!! bikin bangga sekolahan .......... ??????????????????????

    BalasHapus

Terima Kasih Atas Komentar Anda